Jakarta – Sesuai dengan keterangan hadits Rasulullah SAW, bulan Rajab adalah salah satu bulan haram atau suci yang tepat untuk mengamalkan puasa. Namun, mungkin muslim menemui halangan dalam menyelesaikan puasa sunnahnya sehingga harus membatalkan puasanya tersebut.
Perlu dipahami bahwa puasa Rajab yang dimaksud adalah puasa sunnah di bulan Rajab seperti, puasa Ayyambul Bidh dan puasa Senin Kamis. Sebab, berdasarkan pendapat Imam Nawawi, puasa Rajab boleh dilakukan selama tidak diiringi dengan landasan ibadah yang istimewa dalam niat pengerjaannya.
Menurutnya, keutamaan puasa Rajab disebutnya sama seperti puasa saat bulan suci bagi umat muslim lainnya yaitu Dzulqaidah, Dzulhijjah, dan Muharram.
“Dalam bulan Rajab tidak ada ibadah yang benar-benar dilarang atau diutamakan. Puasa menjadi bernilai karena bentuk ibadah itu sendiri. Dalam Sunah Abu Dawud, Rasulullah SAW telah mengatakan puasa dalam bulan suci umat Islam bernilai (praiseworthy) salah satunya pada saat Rajab,” tulis Imam Nawawi dalam situs As-Sunnah Foundation of America.
Dengan demikian, pengamalan puasa Rajab sama artinya dengan pengamalan puasa yang disunnahkan pada bulan Rajab. Lantas, apa hukum membatalkan puasa Rajab tersebut?
Sejatinya, perkara hukum membatalkan puasa Rajab dibagi ke dalam dua pendapat dari kalangan imam besar mazhab. Ada yang cenderung melarangnya dan ada pula yang cenderung membolehkannya.
1. Mazhab Syafi’i dan Hambali
Menurut Kitab Mughnil Muhtaaj, Kasysyaaful Qinaa, Syahrul Mahallii ‘alaa Jam’il Jawaami, dan Ghaayatul Wushuul lil Anshari, Mazhab Syafi’i dan Hambali cenderung membolehkan muslim untuk membatalkan puasa sunnah–termasuk puasa Rajab–dan tidak dikenakan kewajiban mengqadha atau menggantinya.
Menurut mazhab ini, tidak ada kewajiban bagi seorang muslim untuk menyelesaikan amalan sunnah kecuali haji dan umrah.
Meski demikian, menyelesaikan amalan sunnah tetap menjadi perkara yang diutamakan menurut mazhab ini.
Ditambah lagi, membatalkan puasa karena ada uzur tertentu lebih dianjurkan. Seperti, menemani tamu untuk makan karena sang tamu merasa segan bila tuan rumah tidak turut makan dan begitu pula sebaliknya.
Landasannya didasarkan dari sabda Rasulullah SAW dalam haditsnya. Rasulullah SAW membenarkan tindakan Abu Darda sebagai tuan rumah yang membatalkan puasa sunnah untuk tamunya, Salman.
Dari Abu Juhaifah, dia berkata, Rasulullah telah mempersaudarakan Salman dengan Abu Darda. Pada suatu ketika, Salman mengunjungi Abu Darda.
Kemudian Abu Darda’ datang dan menyajikan makanan kepada Salman. Abu Darda berkata, “Makanlah. Aku sekarang sedang puasa.”
Salman berkata, “Aku tidak ingin makan sebelum engkau makan.” Akhirnya, Abu Darda pun makan.
Pada waktu malam hari, Abu Darda bangun untuk menunaikan ibadah. Salman yang memperhatikannya berkata, “Tidurlah.” Abu Darda pun tidur.
Begitu dia hendak bangun lagi, Salman menegurnya, “Tidurlah.”
Tatkala lewat tengah malam, Salman berkata, “Bangunlah sekarang.” Keduanya sama-sama menunaikan shalat sunnah tengah malam.
Setelah itu, Salman berkata kepada Abu Darda, “Sesungguhnya Tuhanmu mempunyai hak yang harus engkau penuhi. Engkau sendiri mempunyai hak yang harus engkau penuhi. Begitu pula keluargamu, mereka mempunyai hak yang harus engkau penuhi. Maka, berikanlah setiap hak kepada yang berhak menerimanya.”
Abu Darda lalu menjumpai Rasulullah dan menyampaikan kejadian itu kepada beliau. Mendengar itu, Rasulullah bersabda, “Salman benar.” (HR Bukhari dan Tirmidzi).
Kondisi sebaliknya saat seorang tamu membatalkan puasa kala dijamu oleh tuan rumah juga dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Kisah ini diceritakan dari Abu Sa’id Al Khudri RA.
Ia mengatakan, dirinya membuat makanan untuk Rasulullah SAW bersama para sahabat. Kala makanan dihidangkan, salah seorang sahabat berkata bahwa dirinya berpuasa.
Mendengar itu, Rasulullah SAW bersabda,
إِنِّي صَائِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” دَعَاكُمْ أَخُوكُمْ وَتَكَلَّفَ لَكُمْ ” ثُمَّ قَالَ لَهُ: ” أَفْطِرْ وَصُمْ مَكَانَهُ يَوْمًا إِنْ شِئْتَ
Artinya: “Saudaramu telah mengundangmu makan dan bersusah payah untuk menyiapkan untuk kalian,” Kemudian beliau bersabda, “Berbukalah! Dan puasalah untuk menggantikannya jika engkau mau,” (HR Baihaqi).
2. Mazhab Hanafi dan Maliki
Menurut Mazhab Hanafi dan Maliki, membatalkan puasa sunnah hukumnya haram.
Seperti dilansir dari Prof Wahbah Az Zuhaili dalam Fiqih Islam wa Adilatuhu Jilid 3, mazhab ini berpendapat amalan sunnah menjadi hak milik Allah SWT dan wajib dijaga dari pembatalan, termasuk puasa sunnah sesuai surah Muhammad ayat 33,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَلَا تُبْطِلُوْٓا اَعْمَالَكُمْ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul serta jangan batalkan amal-amalmu!”
Menurut mazhab ini, bagi muslim yang membatalkan puasa sunnah di tengah pelaksanaannya dikenakan kewajiban untuk mengqadha atau mengganti puasa. Ditambah lagi, Ibnu Umar pernah berkata bahwa orang yang membatalkan puasa sunnah di luar kondisi darurat disebut sebagai orang yang bermain-main dalam agama.
Selain itu, Mazhab Maliki dan Hanafi menganggap sikap muslim yang membatalkan puasa sunnah–termasuk puasa Rajab–seperti orang yang tidak menuntaskan nadzarnya.
Simak Video “Kapten Hanafi, dari Lulusan STM Hingga Terbang ke Daerah Konflik”
[Gambas:Video 20detik]
(rah/lus)